Jalanan sedang ditemani oleh basahnya air hujan, jajaran toko-toko dipinggir jalan pun ikut mengheningkan suasana dengan menutup diri. Ditambah, hembusan angin yang sedikit besar itu berhasil membuat tubuh satu laki-laki bernama Galaksi ini hampir diterpa angin.

Dia berjalan dengan tenang dan sedikit goyah. Matanya merah dan pandangannya sedikit buram. Kepalanya sakit dan sedikit pusing. Membuat tubuhnya yang hanya dibalut oleh Hoodie, celana jeans, dan topi itu sedikit kedinginan. Tidak apa-apa, kata-kata sedikit itu memang menggambarkan betapa kecilnya masalah yang sedang dia hadapi.

Pikirannya kosong dan tidak tahu tujuan. Yang ada dipikirannya adalah, dia harus segera pergi dari tempat yang sudah mengurungnya selama 6 tahun itu. Bukan takut, bukan juga cemas. Dia hanya ingin mencoba untuk membebaskan tubuh dan pikirannya dari bayangan menyakitkan itu. Menyakitkan, bahkan lebih menyakitkan daripada dirimu diterpa oleh tusukan jarum besar sekalipun. Sungguh ...

Dengan sedikit ragu, Galaksi berhenti tepat di perempatan jalan raya. Lampu merah sedang menyala dan kendaraan beroda disana tengah sibuk bersiul menyalakan klaksonnya masing-masing. Dia tersenyum kecil dan menyeberang jalan dengan tenang sambil sedikit bergumam.

"Cih, manusia bodoh! Tidak tahu apa gunanya pemikiran."

Dia berjalan lurus tanpa tujuan, tidak menatap lurus apalagi menatap ke samping. Pandangannya tertunduk, tetapi matanya melirik ke arah sudut kanan dan sudut kiri. Sampai tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya keras hingga seseorang tersebut terjatuh dan basah karena jatuh kedalam genangan air.

"LO KALAU JALAN LIAT-LIAT DONG! PAKE MATA!"

Galaksi tersenyum remeh, dia menatap lawan bicaranya itu dengan kosong dan ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa dia memaki-maki dirinya dan menyalahkannya, sedangkan orang itulah yang terjatuh akibat ulahnya sendiri karena terlalu asik memainkan ponselnya. Bahkan ketika berbicara pun, matanya masih saja tertuju pada Ponsel sial itu.

"Maaf, tapi manusia diajarkan untuk intropeksi, bukan mencaci maki."

Orang itu menatap sinis padanya. Tapi beberapa detik kemudian, dia kembali fokus pada ponsel miliknya itu. Galaksi kembali tersenyum kecil dan mendelikkan matanya tajam.

"Spesies manusia yang perlu di didik ulang."

Tanpa memperdulikan sekitarnya lagi, Galaksi tetap berjalan lurus tanpa arah. Langit semakin gelap dan hujan semakin deras. Sementara dirinya, belum juga menemukan titik terang dari pelariannya itu. Di kanan, kiri, depan, maupun belakang, semuanya tetap sama. Manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Berjalan seenaknya seakan-akan jalanan ini adalah hak paten miliknya.

Tiba-tiba dirinya diam. Membuka tudung Hoodie yang sejak tadi menutupi kepalanya. Menengadahkan kepalanya dan membiarkan wajahnya disiram oleh ribuan air hujan yang tengah menyapanya.

Sampai tiba-tiba, semua orang menatap intens padanya saat satu orang perempuan tiba-tiba memeluknya erat.

"Galaksi..., lo ke mana aja? Lo tau? Lo udah dicariin sama orang tua l--"

"Mereka bukan siapa-siapa!"

Perempuan itu tersentak. Orang-orang di sekitaran mulai menghampiri mereka dengan flash kamera yang sudah terpajang rapi.

"Tapi, mereka keliatan khawatir banget, Gal! Lo pulang ... gue gak ma--"

"Mereka cuma akting."

"Enggak, gue nampak jelas mereka nangis-nangis mohon sama gue buat bujuk lo balik. Dan sekarang gu--"

"LO TAU APA TENTANG GUE? TENTANG KELUARGA GUE?!"

Perempuan itu  beku dan diam. Memang benar, dia tidak tahu apa-apa tentang Galaksi dan keluarganya. Yang dia tahu hanyalah, Galaksi itu sosok laki-laki dingin yang mulutnya bagaikan pisau ketika berbicara.

"Lepasin gue, gue gak suka dipeluk."

Perempuan itu melepaskan pelukannya. Perlahan menjauhi tubuh Galaksi yang sudah basah kuyup oleh air hujan.

"Sinar, lo balik. Cewek baik kayak lo gak pantes buat nyari gue."

Galaksi menatap mata Sinar dalam. Tatapannya seakan-akan mengatakan bahwa ada rasa ragu dalam  jiwanya.

"Tapi, Gal. Gue gak mau kalau lo jauh."

"Gue jauh ataupun deket, tetep sama. Lo bakalan jadi Sinarnya Galaksi."

Mata Sinar memanas dan tiba-tiba mengeluarkan air mata.  Perkataan yang keluar dari mulut orang yang dicintainya ini sangat mendalam. Bahkan lebih dalam dari rasa khawatirnya.

Orang-orang di sana semakin mengerumuni mereka berdua. Semakin banyak flash juga yang menyorot mata  mereka berdua. Orang-orang yang kurang tau diri, bahkan bisa disebut tidak tahu diri.

"Gue pamit."

Tangan Sinar menahan Galaksi, tapi Galaksi menjauhkan tangan Sinar dari tubuhnya. Sedikit susah tapi akhirnya melepaskan juga. Galaksi menatap Sinar dibelakangnya yang sedang menangis. Menciptakan rasa khawatir di hati Galaksi tapi memang inilah tujuannya.

Suatu kekangan dan paksaan dari mulut keluarga memang dianggap sepele dalam hal pendidikan. Tapi jika disertai dengan kekerasan dan bullying oleh keluarga sendiri ... apakah pantas untuk tetap bertahan? Tidak! Walaupun Galaksi sudah berumur 18 tahun. Mentalnya masih kurang untuk menghadapi hujatan perusak mental dari 6 tahun yang lalu.

Dulu memang biasa saja. Tapi semenjak dewasa. Dirinya mulai sadar kalau manusia itu tidak lahir untuk disiksa. Berhak menentukan hidupnya sendiri dan berhak memilih jalannya sendiri. Dirinya bukan robot dan bukan boneka yang bisa disuruh dan dimainkan seenaknya.

Dia manusia. Manusia yang terperangkap dalam suasana yang serba salah.

TAMAT


Penulis: Willan (El)