Jam menunjukkan pukul 09.00 pagi, ketika akhirnya aku menyelesaikan proposal magang. Sambil meregangkan otot-ototku yang mulai kaku, aku berdiri. Sial, tanganku tak sengaja menyenggol kardus lama dan membuat jatuh barang yang ada didalamnya.

Mataku menangkap sebuah buku using bersampul dandelion. Menatapnya lama, tapi kemudian ku biarkan tergeletak begitu saja. Ahh, mengapa aku begitu penasaran dengan isi buku itu?

Kuusap debu yang menempel di buku itu, lalu langsung membukanya. Lembar pertama, tak kutemukan apa-apa. Sedang lembar kedua hanya kujumpai sebuah inisial nama. Nampak tak asing dimataku, namun begitu sulit tuk kuingat siapa pemilik buku ini.

Tak banyak yang kutemui di buku ini kecuali sebuah tulisan yang hampir saja tak terbaca.

 

Cinta Yang Kesepian                          
Sendirian, mencintaimu yang entah apakah pernah ada atau tidak.

Kita pernah berdiri di titik yang sama pada persimpangan kehidupan. Aku pernah melihatmu sedemikian dekat sehingga bahkan kita bisa mendengarkan debaran jantung masing-masing. Tapi siapa yang tahu, jika ini adalah simpul kebersamaan yang terakhir sebelum genggaman kita terlepaskan?

Semakin lama, perlahan namun pasti
Langkahmu menjauhi langkahku. Dan detakan hatimu tak lagi terdengar olehku. Tanganku tak dapat menggapai jemarimu lagi, kehadiranmu juga tak lagi tertatap oleh mataku.

Hanya tinggal ujung bayangmu saja yang tersisa, yang tanpa sadar tertangkap oleh perhatianku.


“Aku mencintaimu,”

dapatkah kau mendengarnya?


“Aku mencintaimu,”

tapi kau sudah tak disini lagi.

Waktu adalah hal yang keji bagi ingatan.
Menjadikan kenangan yang tersimpan memudar.
Membuatku takut, karena hanyalah inilah yang ku miliki tentangmu.
Bisakah kita berhenti sejenak, sehingga bayangmu tetap ada di ujung tebing dari ingatanku?
Agar aku bisa mengingat tentang mencintai, walaupun pada akhirnya aku melupakan tentang siapa yang pernah ku cintai.

Hanya tinggal aku sendirian dan seujung bayanganmu yang nyaris membuyar.
Cinta ini tinggal menghampa dalam kesepian, bertanya-tanya dengan harapan yang kosong,
Apakah engkau benar-benar pernah ada?
‘Aku mencintaimu’, bisikku lagi walaupun aku melupakan tentang siapa yang pernah dicintai oleh hati ini.

 

Dari: Cii

Untuk: Gee


***


Gemetar tanganku ketika membuka lembar terakhir. Sebuah foto lama yang berhasil membangunkan ingatku tentang pemilik buku ini. Potret ketika kami berdua begitu berbahagia. Menikmati pesta kelulusan sekolah dengan mengenakan pakaian seragam yang telah dicoret. Dengan kurang ajar, air mata itu terjatuh. Dia … wanitaku. Wanita yang berulang kali ku kecewakan namun tetap menerimaku dengan senyuman.

Tak terasa, tujuh tahun telah berlalu. Ahh, bagaimana kabarnya? Belum sempat kumenjawab pertanyaanku, sebuah suara halus menyapu pendengaranku.

“Geri, sedang apa kau disitu? Mengapa mejamu terlihat begitu berantakan?”

Dia kekasihku. Tolong, ketika kalian membaca tulisan ini, jangan pernah kalian menyalahkan dia untuk kisahku dengan Cii yang berakhir tragis. Dia tak salah. Akulah yang salah sebab berani-beraninya aku jatuh cinta dengan dua perempuan yang ternyata bersahabat.

“Ohh, tak mengapa. Aku … hanya sedang membereskan barang-barangku.” Jawabku, berusaha tenang.

Dia maju dan melihat tanganku yang memegang buku ini. Tentu saja dia kenal betul dengan buku ini, nampak sekali dari tatapan matanya.

“Buku ini …”

“Ya. Aku tak sengaja menemukannya.” Ujarku cepat.

Raut wajahnya tak terbaca, sehingga membuatku kesulitan menebak emosinya.

“Kau masih menyimpan bukunya?” tanyanya lirih.

“Maafkan aku,”

“Tak mengapa. Kisah kalian berdua memang sangat sulit dilupakan. Aku tak masalah jika kau masih menyimpan buku itu. Tapi kau harus ingat satu hal. Dia takkan kembali untukmu, Geri.” Tamparan keras darinya membuatku tersadar bahwa lelaki bajingan sepertiku tak bisa memliki wanita berhati murni seperti dia.

“Ayo ke kantin, aku lapar.” Ajakannya membuatku kembali tersadar ke realita kehidupan yang begitu membosankan.

“Kau duluan saja. Aku masih harus membereskan ini.” Entah mengapa sikapku berubah dingin terhadapnya.

Ku lirik arlojiku, -yang tanpa dia tahu, ini juga pemberian dari Cii. Mataku melebar ketika angka di arloji tersebut tepat menunjukkan angka 11:11.

Teringat kembali ucapannya dulu,

“Jam 11:11, Gee harus mengucapkan permohonan, yah. Menurut buku yang aku baca, di jam tersebut bisa mengabulkan permohonan kita.”

Maka sambil menutup mata, permohonan itu mengalir begitu saja.

“Di kehidupan selanjutnya, aku ingin bertemu lagi dengannya. Agar aku bisa bersamanya.”

Mataku terbuka dan tak sengaja aku melihat sosok wanita yang mirip sekali dengan dia.

Apakah dia ada di sini?

Cii, aku merindukanmu.

 

    TAMAT


Penulis: Chyaa