Entah takdir apa yang sedang dialami oleh Fero sehingga dia harus bertemu dengan Daran di pagi yang cerah ini.

Harusnya cerah, sih. Tapi, karena ada Daran, kebahagiaannya turun 180° full tanpa noda.

"Yaudah, sih. Lo aja yang ambil."

Fero dengan ikhlas memberikan satu bungkus nasi uduk yang hanya tersisa satu itu pada Daran. Yang akhirnya diterima oleh Daran dengan senang hati tanpa mengucapkan rasa terimakasih sepeserpun.

"Udah dikasih, gak terima kasih lagi. Adu jotos, kasih rumah, atau apa kek."

Fero mengambil napas dalam dan mengembuskan nafasnya itu dengan kasar, membuat bibi nasi uduk terlihat ketakutan hingga darah tinggi. Sampai tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh kedatangan seseorang, yang tak lain dan tak bukan adalah Daran. Tolonglah ... ekspresi mereka seperti, "Ini apalagi, sih? HA? Minta kembalian?"

"Oh iya, Fer. Listrik lo habis gak?"

Seperti mendapat hadiah giveaway album BTS, Fero menatap Daran senang dengan senyumnya yang merekah.

"Enggak, masih banyak. Eh tapi, lo mau apa? Memberi imbalan atas kebaikan gu-"

"Enggak-enggak, lo kok baik hati, budiman, dan berprasangka baik, sih? Gue cuma nanya soalnya gue mau numpang mandi."

Fero menggelengkan kepalanya pelan, tidak semangat, dan menyerah. Hidupnya seperti ada di antara hidup dan pingsan. Ya pusing aja, katanya. "BISA GAK SIH SEHARI AJA GAK BIKIN KECEWA?" ,mungkin itu yang ada di hati Fero sekarang.

"Yaudah, nanti gue mandi di rumah lo, jangan lupa besok hari Senin. Jangan marah, jangan kesal. Kamu pasti bisa, yuk kuat."

Daran mengepalkan tangannya kuat, memberi harapan kepada Fero kalau dirinya bisa menghadapi Daran untuk selama-lamanya seperti ini. Capek, YA GAK SI?

"Pasti alesan lo buat mandi di rumah gue karena di kamar mandinya ada Wi-Fi ya? Ayo jujur sama gue, gue bakalan banting kamu, kok."

"Iya, tenang kok gue gak bakalan nyuri Wi-Fi lo, gue cuma numpang nyari internet."

"Numpang si numpang, saldo Wi-Fi gue habis iya, yang disalahin siapa? Gu--"

"Gue tau! Lo bisa, lo kuat. Yok bangkit!"

Daran menepuk bahu Fero keras, membuat Fero sedikit meringis sambil melirik ke arah Bibi nasi uduk yang tengah bengong melihat tingkah dua pemuda yang patut dipertanyakan kedewasaannya.

"Lo pulang naik apa?"

"Jalan kaki."

"Oh...."

Daran bangkit, balik kanan, dan merogoh saku celananya untuk membawa kunci motor. Menyimpan kantong kresek berisi nasi uduk itu di stang motornya dan menyalakan motornya dengan penuh ketelitian.

"Dadah anak pungut."

"Dih, gue kan emang bukan anak dari bapak ibu lo."

Fero lemah  dan kesemutan karena terlalu lama berdiri dengan beban pikiran yang semakin menjadi jadi, mengambil satu bungkus nasi kuning yang tersisa dan memberikan uang kepada Bibi nasi uduk dengan lemah lembut dan penyayang.

"Makasih, Bi. Lain kali sisain buat saya, ya. Jangan dikasih sama si Daran yang tadi. Dia emang gitu, bisanya cuma malu-maluin."

Bibi mengangguk bahagia.

Sementara Fero yang baru saja jalan 10 langkah, langsung dibuat kaget dan kocar-kacir dengan kedatangan Daran sambil membawa motornya kencang. Membuat Bibi nasi uduk yang tadi memicingkan matanya seperti, "Mmm memalukan."

"WOY, FER. JANGAN LARI. GUE GAK BAKAN NABRAK LO, KOK. GUE CUMA LATIHAN RED ROSE."

"ROAD RACE KAMPRET, BUKAN RED ROSE."

Fero yang sedang lari pun menghentikan langkahnya dan mencoba untuk membalikkan badannya ke arah Daran yang dari tadi sudah berhenti dari acara kebut-kebutannya.

"Yaudah sini, tujuan gue cuma balik lagi terus jemput lo. Kaki lo kan kecil, takutnya lo gak sanggup jalan sampai tujuan. Baik hati banget, kan?"

Fero menghampiri Daran dengan semangat. Dia sudah lupa kalau dirinya tadi sedang kesal dengan Daran. Lihatlah, pelupa sekali, YA.

"Udah, cepetan jalan. Ni nasi gue udah gak anget lagi anjir, gegara lo."

"Iya, maaf. Eh tapi tunggu, kok lo gak bilang makasih?"

Fero diam, dia memejamkan matanya sejenak dan mencoba untuk mengingat suatu kejadian.

"Yaudah, makasih. Lo juga belum makasih tadi sama gue. Gini, Dar. Bukan gue mau di makasihin, tapi ... lo tau kan kalau bilang makasih itu gak perlu dipaksa dan gak perlu maksa?"

"He'eh."

"Iya, kita sebagai pemuda yang penuh pesona, harusnya udah tau dan udah inget kalau bilang makasih itu penting banget, dan bermakna banget. Lo tadi udah bisa bilang maaf, nah alangkah baiknya lo juga jangan lupa bilang makasih sama  seseorang, ya?"

"He'eh."

"Lo harus berpikir kritis dan ideologis kalau dengan perkataan makasih sama maaf itu bisa membuat kita bahagia."

"He'eh."

Daran mengangguk pelan. Fero yang tengah duduk di belakang motorpun hanya bisa terdiam dan membeku. Gini, lo ... ini anak ngerti gak, sih?

"Yaudah, Makasih dari gue yang selalu nyusahin lo, padahal lo juga yang serring nyusahin gue."

"Iya. Yaudahlah cepet jalan. Nasi kuning gue dah dingin, nih."

Daran mengerti, dia langsung menyalakan motornya semangat. Namun belum juga melaju, dia sudah mematikan mesin motormya lagi.

"Bentar, Fer. Lo tau gak? Virus pernah gak sih takut sama virusnya virus?"

 TAMAT


Pengarang: Willan (EL)