Percayalah, saat nanti tulisan ini muncul dihadapan
kalian. Aku sedang duduk. Menertawakan diriku sendiri. Karena
lagi-lagi, aku jatuh cinta pada seorang yang seharusnya tidak kucintai.
Mereka bilang masa SMA adalah masa yang paling
menyenangkan. Tapi bagiku tidak. Masa SMA-ku sangat biasa.
Aku tak pernah merasa benar-benar jatuh cinta. Hingga
akhirnya aku bertemu dengannya. Cinta terindah juga patah hati terhebatku.
Namanya….. Sega. Sega Brianka. Dia temanku. Entahlah. Terkadang dia lebih
seperti rival yang harus kukalahkan.
Dengan dia masa SMA-ku terasa lebih manis. Terlalu
manis, hingga aku lupa bahwa yang manis-manis juga bisa membuat sakit. Aku lupa
kapan terakhir kali aku membiarkan dia bebas memenuhi pikiranku. Aku juga lupa
kapan terakhir kali kupercayakan hati ini. Lagi, pada orang yang mungkin
berpotensi melukainya.
Pahit dan hambar adalah dua saudara kembar. Pertama
lahir di tepi cangkir kopi. Lantas muncul dalam raut sembab wajahmu yang
menolak hadirku. Tanpa sebab. Tanpa tetapi. Bagaimana rasanya menyingkarkan cemburu
yang terlalu? Sementara perasaan yang aku punya bukan menjadi hal yang ingin
kau jaga.
Tentang cara kerja perasaan yang sulit dijabarkan.
Sering lebih dingin dari kutub. Sering lebih panas dalam takjub.
Beberapa manusia mempertahankan. Beberapa mengungkapkan.
Beberapa malah mendiamkan. Sebab ketika perasaan dikemukakan, jatuh dari
ketinggian itu sakitnya tidak karuan.
Dalam perjalanan menuju ruang hampa, kau bertanya
untuk kesekian kalinya.
“Jika udara memiliki warna, kira-kira apa warnanya?”
“Entah. Jika angin bisa digenggam, kau ingin wujudnya
seperti apa?”
“Entah juga. Angin kan udara yang bergerak.”
“Berarti udara adalah partikel yang tidak bergerak?”
aku balik bertanya.
Kau diam. Sembari menatap apa saja yang ada di depanmu. Meski kita belum juga sampai, hingga aku bisikkan, “Jangan bedakan angin dan udara. Jika keduanya sama-sama kuperintahkan untuk mengetuk jendela kamarmu sebelum tidur, menitipkan salam menuju alam mimpi, menyelimuti menuju alam bawah sadar sekali lagi.”
Kau tersenyum. Dan kita sudah sampai menuju ruang
hampa itu. Kecepatan caliber cahaya dan suara bukan apa-apa disini.
Bintang-bintang berbisik disela-sela galaksi. Beberapa perjalanan memang tak
punya tujuan. Sebab kembali dengan selamat adalah prioritas yang amat sangat.
Barangkali memilikimu hanya mampu dilakukan oleh
orang-orang tertentu. Jadi ketika aku memilikimu meski secara sementara, itu
sudah lebih dari sekadar sesuatu. Barangkali pandangan jarak jauh juga masih
bermakna indah. Jadi saat kau tak lagi dekat denganku, aku masih tetap bisa
memandangmu dari jauh tanpa khawatir terhalang apapun atau seorangpun.
Barangkali alam semesta punya takdir yang semestinya. Saat kau berdoa dengan
Tuhan dan belum pernah kecewa. Suatu saat akan datang sosok pengisi nyawa yang
jauh lebih istimewa.
Kemarin hanyalah lembar-lembar pelajaran yang sudah
menemukan akhirnya. Aku sendiri yang tidak menghitung lembar halamannya.
Resikonya, aku tak bisa menyiapkan cerita akhirnya. Kemarin obat paling pahit
yang harus diminum dengan salam pamit. Aku akan dan harus sembuh. Tidak ada
yang sembuh dengan obat manis. Semuanya pahit. Kebanyakan dari kita selalu
pandai memberi nasihat pada kehilangan orang lain, tapi selalu bingung pada
kehilangan diri sendiri.
Selalu yang dianggap paling baik, istimewa, yang
dianggap pemberi nyawa, adalah yang selalu paling sanggup membuat kecewa.
Dulu selalu. Kini berujung halu.
Kita yang tersesat di pertengahan tanggal kabisat.
Kita yang penat di pertengahan pertengkaran yang hebat. Kita yang merasa hebat
padahal akhir kan menyayat. Kita yang merasa kuat padahal ini semua salah
alamat. Berjalanlah menuju diagonal paling jauh. Ke kemacetan paling riuh. Ke
sisi percakapan paling utuh. Ke pulau dengan penyebrangan yang melempar sauh.
Sekembalinya dari sana, kupastikan kau tidak akan
pernah menjumpai yang serupa aku. Juga, aku pun sama. Sebuah penghargaan untuk
kita yang dulu. Yang tidak akan pernah kalah dengan pelukan apapun dan
siapapun. Seperti cerita embun dan daun di pagi hari.
Semua yang pernah akan musnah.
Medan magnet kita sama kuatnya saat itu. Mengejar di
satu sisi dan menghindari sisi lain. Kita kehabisan cara menyatukan dua hal
yang berbeda haluan, arah perjalanan. Sadar atau tidak, saat kita mencoba
berpaling menyentuh bayangan masing-masing, bertaut pada sosok yang asing. Yang
cair, menguap. Yang padat, mencair. Yang datang, hinggap. Yang pergi, berakhir.
Banyak arah di penjuru mata angin, tapi kita
kebingungan menentukan satu arah yang benar-benar kita ingin. Jika semua masih
belum terlambat untuk jatuh. Karena tidak semua lengan layak untuk dipeluk
utuh.
Cinta dari kejauhan sering datang terlambat. Bukan
tersesat. Lebih karena dari perjalanan jauh, ia tak mau salah alamat.
Kita mencoba menyembunyikan perasaan, tapi lupa kalau
mata kita bisa bicara. Sebab rindu adalah bahasa yang dapat didengar sang tuli
dan dilihat sang buta.
Ada yang mendekat untuk mencari teman cerita. Ada yang
sekadar bercerita lalu menjadi teman dekat. Ada yang pernah dekat lalu menjadi
bahan cerita. Ada juga yang dekat, selalu berbagi cerita, selalu berbagi
berita, tapi hanya dianggap teman.
Mereka bilang, lebih baik kehilangan teman daripada
cinta. Ada juga yang bilang, lebih baik kehilangan cinta daripada kehilangan teman.
Ohh, mungkin mereka tidak tahu rasanya cinta ke teman sendiri. Lalu kehilangan
keduanya. Cinta juga teman.
Bagaimana rasanya????
Miriskan?
Ahh, gulali abu-abu.
TAMAT
Pengarang: Chyaa