Aku masuk kelas dengan suasana hati yang sangat hancur. Aku tidak menyangka bahwa kejadian tadi itu nyata. Aku tidak menyangka kalau Cherly akan bertindak hingga seperti itu di depanku.  Sudah jelas sekali dia menghianatiku, sahabatnya sendiri. Aku ingat sekali kalau aku pernah cerita tentang orang yang kusuka kepada Cherly. Sejak dulu, aku tidak pernah menyukai siapa pun. Hanya Raka lah yang selalu ada di hatiku. Bahkan aku tidak pernah menyukai Michael. Aku hanya terpaksa menjalin hubungan dengannya, karena aku merasa kasihan saja dengannya. Tujuanku menjalin hubungan dengan Michael juga supaya Raka cemburu kepadaku. Ahh! Aku benar-benar frustrasi.

“Ca, lo kenapa?”  Suara Cia menyadarkanku dari lamunan. Dengan cepat aku menggeleng sambal tersenyum, menutupi keresahanku saat ini.

“Gue gak apa-apa, kok,” jawabku.

“Bohong banget. Dari muka lo tuh kelihatan kali kalau lo lagi bad mood.” Chika menimpali. Ya, raut wajahku jika sedang dalam mood yang hancur memang tidak bisa ditipu. “Udah sini cerita ke kita, ada apa? Lo gak mungkin kan main rahasia-rahasiaan sama kita?” lanjutnya. Benar, aku harus berbagi cerita kepada mereka, apa yang sedang aku resahkan saat ini.

 Aku menghela napasku sebelum mulai bercerita kepada mereka.

“Cherly.”

Cia dan Chika saling menatap. Mungkin mereka bingung dan takt ahu maksudku menyebut nama itu.

“Cherly kenapa, Ca?” tanya Cia.

Aku tak tahu harus mulai cerita dari mana. Dadaku terlalu sesak untuk mengingat lagi kejadian tadi. Kepalaku menunduk. Mataku kembali memanas dan penglihatanku menjadi buram karena air mataku yang lagi-lagi menggenang Aku sudah tidak tahan lagi. Pada akhirnya, kutumpahkan semua air mataku di depan Cia dan Chika.

Tangisanku semakin deras. Bahuku bergetar dengan amat kencang. Cia langsung duduk di sebelahku lalu mengusap-usap punggungku guna menenangkanku.

“Keluarin dulu aja, Ca. Nanti baru lo cerita ke kita.” Ucapan Cia pelan dan lembut, benar-benar membuat hati menghangat.

 

 Akhirnya aku bisa menceritakan keresahanku kepada Cia dan Chika. Beruntung kelas sepi karena murid-murid yang lain banyak yang masih di luar kelas sembari menunggu bel masuk berbunyi. Aku menceritakan semua yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mulai dari kejadian Cherly membeli air mineral untuk Raka hingga kejadian tadi di mana Raka membonceng Cherly.

“Gila tuh si Cherly. Tau gitu kemarin kita gak usah maafin dia. Biarin aja kita bikin hidupnya gak tenang.”

“Gue setuju.” Cia ikut bersuara menyetujui Chika. “Cherly bener-bener munafik. Padahal tuh anak tau banget kalo Caca suka sama Raka. Eh, main embat aja. Gak tau diri. Gue gak mau tau, pokoknya Cherly kudu keluar dari pertemanan kita. Gue gak mau ada manusia toxic di pertemanan kita” lanjutnya.

Sebenarnya aku tidak ingin membebani mereka karena masalahku ini. Cia dan Chika terlalu berlebihan. Aku dan Cherly bisa saja menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Tidak dengan menjauhinhya. Ahh, aku sedikit menyesal telah menumpahkan masalah ini kepada mereka. Untung saja Cindy belum datang dan dengar keluh kesahku kepada Cherly. Jika saja Cindy dengar, ia pasti akan bertindak guna membelaku dari Cherly. Bisa saja ia memberi pelajaran kepada Cherly. Padahal niat aku bercerita hanyalah untuk menumpahkan keluh kesahku kepada mereka.

“Gila, ya. Cherly udah di luar batas.”

Ucapan itu berhasil membuat aku, Cia, dan Chika tersentak. Sejak kapan Cindy berada di depanku?

BERSAMBUNG

Pengarang: Ziki Ramadhan