Hari-hari semakin berat bagi Mardi. Kemiskinan seolah menimpa semua orang, sehingga ia tak lagi mendapatkan proyek pembangunan untuk menghasilkan pendapatan. Ia sudah menganggur selama lebih dari tiga bulan, dan tabungannya semakin terkuras untuk kebutuhannya sekeluarga.

Tetapi ia punya satu harapan. Pembangunan masjid di desanya yang sudah mandek selama lebih dari dua tahun, akan dilanjutkan kembali. Untuk itu, sebagai tukang bangunan berpengalaman, ia pun telah diancang-ancang oleh ketua baru pembangunan masjid untuk menukangi proyek tersebut.

Namun waktu demi waktu, jadwal pengerjaannya tak juga pasti karena persoalan dana. Sedari awal, ketua pembangunan memang sudah mengatakan bahwa pengerjaan baru akan dilakukan ketika dananya sudah mencukupi. Dan sayangnya, target itu belum juga tercapai.

Perkara pendanaan, memang tidak mudah. Masalahnya, warga sekitar yang kebanyakan petani sederhana, tak punya daya lebih untuk menyumbang. Karena itu, nasib pembangunan masjid terus saja digantungkan pada bantuan dana hibah dari pemerintah yang tak kunjung terealisasi.

Akhirnya, kehidupan Mardi jadi semakin memprihatinkan. Sebagai warga pendatang yang tak punya lahan pertanian, ia hanya bekerja jika ada yang membutuhkan tenaganya. Jika tidak ada, ia hanya akan menghabiskan waktunya dengan berleha-leha.

Dan kini, saat lewat jam 10 malam, di pos ronda, Mardi kembali nongkrong santai, sembari turut berjaga-jaga. Pasalnya, Rimo, mantan ketua pembangunan masjid, telah kabur dari rumah sakit jiwa. Orang-orang pun waspada kalau-kalau lelaki itu berada di lingkungan desa dan menyulut petaka.

Kekhawatiran Mardi dan para warga berdasar. Itu karena sebelum Rimo dibawa ke rumah sakit jiwa sekitar dua tahun yang lalu, kebun para warga pernah mengalami kebarakaran hebat. Tanpa keraguan, warga pun meyakini bahwa pelaku penyulut api adalah Rimo. Apalagi, duda tersebut memang pernah kedapatan mencoba membakar bangunan sekolah dasar dan pustu, namun segera dicegah warga.

Kegilaan Rimo memang lekat dengan perkara api. Ia menjadi gila setelah rumahnya terbakar dan menewaskan anaknya yang berusia empat tahun. Tak ada yang tahu sebab kejadian itu, sebab ia yang merupakan saksi tunggal, tak pernah mengatakan apa-apa. Tetapi dugaan yang kuat menyatakan bahwa api bersumber dari bara kayu pembakaran untuk memasak di dalam rumahnya, yang menjalar entah bagaimana.

Seketika setelah kejadian itulah, kewarasan Rimo mulai terganggu. Jiwanya tampak terguncang setelah kehilangan anak semata wayangnya. Entah ia punya kesalahan atau tidak atas kenahasan itu, yang pasti, ia begitu menyalahkan dirinya yang tak menjaga dan menyelamatkan sang anak.

Akhirnya, atas perkara Rimo dengan api, terutama setelah ia divonis melakukan pembakaran kebun, para warga pun menyingkirkannya dari lingkungan desa dengan membawanya ke rumah sakit jiwa. Tetapi ternyata, hasratnya untuk bertingkah tampaknya masih menggebu-gebu, hingga ia berhasil kabur dari lingkungan kungkungannya itu.

Waktu pun terus bergulir. Sudah lewat jam 12 malam. Sejumlah warga yang berjaga dan berpatroli, akhirnya kelelahan dan kembali ke rumahnya. Sedang sebagian yang lain, termasuk Mardi, masih bertahan di pos ronda untuk mewaspadai keadaan dan memberikan tanda peringatan jika terjadi apa-apa atas tingkah Rimo.

Namun malam semakin larut. Rimo tak juga tampak di kawasan desa. Akhirnya, Mardi dan beberapa orang yang meronda, memutuskan untuk pulang dan tidur. Yang tinggal sisa lima orang, yang mendapatkan amanah untuk berjaga hingga pagi. Setidaknya, ketika bahaya benar-benar terjadi, mereka bisa membangunkan warga untuk mencegah keadaan semakin memburuk.

Hingga akhirnya, menjelang subuh, ketika sebagian besar warga masih larut dalam lelapnya, tiba-tiba, suara kentongan semarak bertalu-talu, disertai teriakan-teriakan: Kebakaran! Kebakaran! Masjid kebakaran…!

Mardi sontak tersentak dan terjaga. Ia lantas bangkit dari kasurnya, kemudian bergegas memeriksa kejadian. Hingga akhirnya, ia melihat api tengah merayap di dinding sisi depan masjid, sampai ke sisi atap. Maka cepat-cepat, ia bergabung dengan para warga untuk melakukan pemadaman. Tetapi karena peralatan mereka seadanya, mereka tak lekas membunuh si jago merah.

Akhirnya, dalam waktu yang terhitung lama, api kemudian berhasil dipadamkan. Mardi dan para warga lantas menyaksikan seisi ruang depan masjid yang porak-poranda. Plafon dan rangka jendela, juga mimbar dan seluruh barang-barang di sekitarnya, tampak telah hangus terbakar.

Tak pelak, Mardi dan para warga berduka. Mereka bersedih melihat keadaan masjid mereka yang belum rampung terbangun, malah jadi semakin memprihatinkan. Karena itu, mereka jadi menaruh kegusaran pada Rimo yang seketika mereka tuding sebagai pelaku pembakaran. Mereka pun jadi bernafsu untuk segera menemukan dan menghukum pria gila itu.

Tetapi miris. Tampaknya, Rimo telah menghukum dirinya atas tindakannya sendiri. Pasalnya, sejenak berselang, di tengah puing-puing kebakaran, Mardi dan para warga menemukan satu tubuh manusia yang legam terbakar. Mereka pun menaksir bahwa sosok tersebut adalah Rimo. Mereka yakin bahwa Rimo telah menandaskan kegilaannya di dalam api yang ia sulut sendiri.

Beberapa lama berselang, tiga orang personel polisi akhirnya datang dengan mobil patroli. Setelah mengamati kejadian dan memasang pita garis larangan, mereka lantas pergi sembari membawa sesosok tubuh yang terbakar itu untuk diidentifikasi.

Waktu pun bergulir cepat.

Hingga akhirnya, ketika hari sudah di ujung pagi, di tengah kedukaan para warga atas terbakarnya masjid mereka, tiba-tiba, ketua pembangunan masjid mendatangi Mardi dengan raut semringah.

“Hai, kamu harus bersiap-siap untuk bekerja,” tutur lelaki itu seketika.

Mardi pun terheran dan penasaran. “Kerja apa, Pak?”

“Lihatlah,” kata lelaki itu, sembari menunjukkan pesan-pesan singkat di layar ponselnya, yang berisi pemberitahuan perihal uang donasi yang masuk ke rekening masjid. “Banyak orang yang menyumbang untuk pembangunan masjid kita, setelah kabar terbakarnya masjid kita, viral di media sosial.”

Mardi sontak terkejut. Perlahan-lahan, ia pun merasa senang.


-THE END-


Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi).