Cia membangunkanku dari tidurku. Aku mengerjap-ngerjap mataku, terlihat Bu Susi mulai menulis berbagai soal matematika di papan tulis. Aku menegakkan tubuhku sambal sedikit perenggangan, karena tubuhku sedikit pegal setelah tidur di meja dengan posisi bungkuk.

 

 Aku melihat Cindy yang duduk tepat di depanku sedang tertawa jahil Bersama Chika yang duduk di sebelah kanannya. Mereka berdua lalu memutar kepalanya ke belakang untuk melihat Cia yang duduk di sebelah kananku. Cia hanya tersenyum singkat sebagai balasannya. Aku bingung dengan perilaku teman-temanku saat ini. Sepertinya, mereka telah menjahili seseorang. Tetapi, siapa?

 

“Baiklah, anak-anak. Jadi ibu sudah tulis lima soal tugas materi peluang yang kemarin sudah ibu beri ke kalian. Di pertemuan sebelumnya, ibu sudah jelaskan tentang soal peluang kan?”

 

“Sudah, Bu,” Jawab murid-murid secara bersamaan.

 

“Ya, sudah. Ibu akan tunjuk lima dari kalian untuk mengerjakan soal-soal ini. Dijawab dengan tepat dan benar.”

 

“Baik, Bu”

 

“Nomor satu ibu tunjuk Reno.” Bu Susi mulai memanggil beberapa murid kelasku. Uh, semoga saja Bu Susi tidak menunjukku untuk mengerjakan salah satu soal-soal itu meskipun aku sudah mengerjakan tugas itu.

 

“Nomor dua Santi, tiga Cindy, empat Dio, dan terakhir Cherly. Kerjakan dengan teliti ya, anak-anak. Nanti setelah mereka menjawab, kita akan bahas bersama-sama.”

 

 Syukurlah aku tidak dipilih oleh beliau, tetapi Cindy lah yang terpilih untuk mengerjakan soal nomor tiga. Aku lihat, tidak ada rasa takut di raut wajah Cindy saat maju ke depan papan tulis. Ya, aku tahu dia hanya tinggal menyalin jawaban dia yang ada di buku tulis merahnya. Sebenarnya aku pun juga begitu jika dipilih untuk mengerjakkan di depan, tetapi aku takut jawabanku ternyata salah. Aku malu jika sudah begitu.

 

Kraaak!

 

 Suara robekan itu cukup keras sehingga membuat satu kelas menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari tempat duduk Cherly. Cewek berambut cokelat itu segera duduk kembali karena roknya robek, sepertinya. Jika memang benar iya, pasti ia sangat malu, karena tempat duduknya berada di barisan kedua yang mana jika roknya robek pasti akan terlihat oleh murid-murid di belakangnya.

 

 Suasana kelas menjadi ramai karena tawa renyah teman-teman yang menertawakan Cherly. Cindy dan Chika juga ikut tertawa, bahkan tawa mereka lah yang paling kencang aku rasa. Cia ku lihat hanya tertawa kecil. Aku … jujur kesal dengan kejadian ini. Rasanya malu yang dirasakan Cherly juga berada di diriku. Astaga, apa yang membuat rok Cherly robek?

 

 Bu memukul meja beberapa kali guna menghentikan suasana kelas yang gaduh karena Cherly.

 

“Cukup, Tenang!” bentak Bu Susi. Suasana kelas yang tadinya gaduh kini menjadi hening kembali.

 

 Raka dengan sigap memberi Hoddie-nya untuk Cherly guna menutupi rok Cherly yang robek. Hah, entahlah, aku bingung. Di saat seperti ini, aku kasihan dengan Cherly, tetapi setelah melihat perlakuan Raka, ingin rasanya menertawakannya.

 

 Entah bisikan dari mana, aku tiba-tiba berdiri lalu berjalan menuju bangku Cherly.

 

“Cher, gue ada cadangan rok di loker. Sementara lo pake rok gue dulu aja, ya?” Cherly hanya mengangguk sebagai jawaban. Matanya pun sudah berkaca-kaca.

 

“Siapa yang sudah menyemprot lem ke bangku Cherly?” tanya Bu Susi dengan lantang. Tunggu, apa? Menyemprot lem? Berarti tadi yang orang itu semprotkan bukan obat nyamuk atau pengharum ruangan? Pantas saja baunya aneh dan sangat menyengat. Hmm, sepertinya aku tahu pelakunya.

BERSAMBUNG


Pengarang: Ziki Ramadhan