Cii POV

Sudah 7 tahun berlalu, namun aku masih menyimpan pigura kita dahulu. Ketika dunia yang kita ciptakan begitu indah. Tak ada air mata, pun sakit hati. Tapi, semuanya telah berlalu. Kenangan indah dan pahit yang menjadi satu. Mengudara bersama bayangmu yang hilang muncul. Aku tahu, di waktu dulu kita hanyalah sepasang remaja yang belum bisa mengartikan banyak hal. Sehingga kita terlena, terkubur dalam imajinasi yang kita bangun. Ahh, menatap wajahmu yang dulu membuatku tersenyum kecil.

Bagaimana bisa lelaki polos ini tumbuh menjadi pembunuh berdarah dingin dan juga pematah hati paling ulung?

Gee, begitulah sapaanku padamu dulu. Apakah kau merindukanku?

Aku….

Aku merindukan dekap hangatmu, Gee.

Kuhirup udara dengan beringas. Asal kau tahu, kau masih meninggalkan aroma tubuh yang begitu candu di kamar kecil ini. Sedang aku, wanita liarmu ini bahkan tak kuasa untuk membersihkan segala kenangan kita yang tercecer.

Setelah ku kira-kira, ternyata aku memang sebodoh itu. Menunggumu dalam jangka waktu yang begitu panjang. Entah aku yang terlalu terlena dalam permainan cintamu, atau karena setelah kepergianmu setengah jiwaku ikut bersamamu. Tak mengapa Gee, bahkan jika aku harus kembali menjadi pelampiasmu di kala gundah. Aku rela.

Percayalah Gee, ketika kau membaca tulisan ini. Aku sedang meringkuk disudut ruangan, menghirup aroma tubuhmu yang tak pernah hilang sambil menertawakan kebodohanku.

Kisah kita sangat manis, Gee. Terlalu manis sehingga aku lupa yang manis justru bisa menyebabkan sakit. Pahit dan hambar adalah dua saudara kembar. Pertama lahir di tepi cangkir kopi. Lantas muncul dalam raut dingin wajahmu yang menolak hadirku. Tanpa sebab, tanpa tetapi. Bagaimana rasanya menyingkirkan cemburu yang terlalu? Sementara perasaan yang aku punya bukan menjadi hal yang ingin kau jaga.

Mari kita berbicara tentang cara kerja perasaan yang sulit dijabarkan. Sering lebih dingin dari kutub. Sering lebih panas dalam takjub. Meskipun dalam kondisi ini, kau lebih dingin dari Kutub Selatan.

Beberapa manusia mempertahankan. Beberapa mengungkapkan. Beberapa malah mendiamkan. Sebab ketika perasaan dikemukakan, jatuh dari ketinggian itu sakitnya tidak karuan. Sedang aku lebih memilih mengungkapkan dan kemudian kehilangan dirimu.

Apa kau ingat percakapan sederhana kita dikala sinar rembulan menyinari peraduan kita?

“Jika udara memiliki warna, kira-kira apa warnanya?”

“Entah. Jika angin bisa digenggam, kau ingin wujudnya seperti apa?”

“Entah juga. Angin kan udara yang bergerak.”

“Berarti udara adalah partikel yang tidak bergerak?” kau balik bertanya.

Aku diam. Sembari menatap apa saja yang ada di depanmu. Meski kita belum juga sampai, hingga aku bisikkan,

“Jangan bedakan angin dan udara. Jika keduanya sama-sama kuperintahkan untuk mengetuk jendela kamarmu sebelum tidur, menitipkan salam menuju alam mimpi, menyelimuti menuju alam bawah sadar sekali lagi.”

Kau tersenyum. Dan kita sudah sampai menuju ruang hampa itu. Kecepatan kaliber cahaya dan suara bukan apa-apa disini. Bintang-bintang berbisik disela galaksi.

Barangkali memilikimu hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu. Jadi ketika aku memilikimu meski secara sementara, itu sudah lebih dari sekadar sesuatu. Barangkali pandangan jarak jauh juga masih bermakna indah. Jadi saat kau tak lagi dekat denganku, aku masih tetap bisa memandangmu dari jauh tanpa khawatir terhalang apapun atau seorangpun. Barangkali alam semesta punya takdir yang semestinya. Saat kau berdoa dengan Tuhan dan belum pernah kecewa. Suatu saat akan datang sosok pengisi nyawa yang jauh lebih istimewa.

Kemarin hanyalah lembar-lembar pelajaran yang sudah menemukan akhirnya. Aku sendiri yang tidak menghitung lembar halamannya. Resikonya, aku tak bisa menyiapkan cerita akhirnya. Kemarin obat paling pahit yang harus diminum dengan salam pamit. Aku akan dan harus sembuh. Tidak ada yang sembuh dengan obat manis. Semuanya pahit. Kebanyakan dari kita selalu pandai memberi nasihat pada kehilangan orang lain, tapi selalu bingung pada kehilangan diri sendiri.

Selalu yang dianggap paling baik, istimewa, yang dianggap pemberi nyawa, adalah yang selalu paling sanggup membuat kecewa.

Kita yang tersesat di pertengahan tanggal kabisat. Kita yang penat di pertengahan pertengkaran yang hebat. Kita yang merasa hebat padahal akhir kan menyayat. Kita yang merasa kuat padahal ini semua salah alamat.

Sekembalinya dari sana, kupastikan kau tidak akan pernah menjumpai yang serupa aku. Juga, aku pun sama. Sebuah penghargaan untuk kita yang dulu. Yang tidak akan pernah kalah dengan pelukan apapun dan siapapun. Seperti cerita embun dan daun di pagi hari.

Medan magnet kita sama kuatnya saat itu. Mengejar di satu sisi dan menghindari sisi lain. Kita kehabisan cara menyatukan dua hal yang berbeda haluan, arah perjalanan. Sadar atau tidak, saat kita mencoba berpaling menyentuh bayangan masing-masing, bertaut pada sosok yang asing.

Banyak arah di penjuru mata angin, tapi kita kebingungan menentukan satu arah yang benar-benar kita ingin. Jika semua masih belum terlambat untuk jatuh. Karena tidak semua lengan layak untuk dipeluk utuh.

Kita mencoba menyembunyikan perasaan, tapi lupa kalau mata kita bisa bicara. Sebab rindu adalah bahasa yang dapat didengar sang tuli dan dilihat sang buta.

Ada yang mendekat untuk mencari teman cerita. Ada yang sekadar bercerita lalu menjadi teman dekat. Ada yang pernah dekat lalu menjadi bahan cerita. Ada juga yang dekat, selalu berbagi cerita, selalu berbagi berita, tapi hanya dianggap teman.

Mereka bilang, lebih baik kehilangan teman daripada cinta. Ada juga yang bilang, lebih baik kehilangan cinta daripada kehilangan teman. Ohh, mungkin mereka tidak tahu rasanya cinta ke teman sendiri. Lalu kehilangan keduanya. Cinta juga teman.

Bagaimana rasanya?

Seperti aku yang dipaksa waktu untuk melepasmu. Sungguh, ini begitu sulit. Melihatmu bisa menjalani hidup dengan bahagia tanpa hadirku.

Ini terlalu menyakitkan.

                                       Bersambung...

 

Pengarang: Caesilia