Awan seputih susu menghiasi langit bak lautan biru. Angin berhembus kencang membawa beberapa daun kering melayang di udara, lalu berakhir mengotori jalan raya yang padat akan transportasi roda empat.

Keheningan sengaja ia ciptakan mampu menghilangkan rasa gugup juga menumpas prasangka buruk akan hari ini. Berharap tak ada halangan yang mengacaukan pertemuan demi memusnahkan rasa rindu yang merajarela.

Menuju ke tempat sejuta kenangan mengundang kerinduan. Pertemuan awal antara dua netra berakhir cinta, membawa ke dalam hubungan sebuah ikatan sementara.

Setiap momen romansa kembali terputar dalam kepala. Menampilkan memori berharga yang pernah mereka lakukan di sana, taman kota tempat awal mereka bercengkrama. Dan sekarang, mereka kembali lagi demi melenyapkan satu kata penyebab hati terus terluka.

Rindu itu memang kejam. Membiarkan ia dilanda patah hati yang mendalam, lalu berakhir menangis dalam diam. Melupakan sisi dewasa dalam diri sebagai seseorang yang terlihat tangguh di luar, namun rapuh di dalam.

Keluar dari mobil dengan buket bunga mawar di tangan, menatap sejenak tuk meyakini bahwa semua hadiah lainnya terletak rapi di dalam sana. Demi merayakan hari Kasih Sayang juga pertemuan mereka hari ini.

Melangkah masuk ke dalam taman kota, disambut langsung oleh indahnya bentangan bunga harum yang mempesona mata juga memanjakan hidung. Suasana yang tercipta di sana amatlah tenang, apalagi pengunjung sudah banyak pulang ke rumah masing-masing.

Duduk di antara himpitan dua pohon tua yang masih berdiri kokoh, menyisakan dedaunan kering yang terkadang jatuh mengotori tanah adalah tempat favorit sang kekasih. Mengatakan jika mereka ada di situ, mereka akan merasakan musim gugur.

Terus menunggu hingga semburat oranye menampakkan diri di balik awan, menandakan malam akan segera menyambut dan mengakhiri sore yang telah lelah. Tapi ia masih di sini, menunggu penuh harap kalau ia akan segera datang.

•••

"Maaf aku lama." Suara lembut menyapa telinga, mengobarkan api kerinduan yang sudah lama padam. Menolehkan kepala, menatap sang pujaan hati sudah duduk di sampingnya.

Paras kecantikan terpancar memukau. Bagaikan mahadewi, kecantikan tiada kentara yang dimiliki olehnya bisa membuat seluruh pria tergila-gila. Dan ia adalah salah satunya.

Menatap lamat mata cokelat muda yang tak kalah indah, kemudian menyambar pelukan mewakili kerinduan yang sudah lama ia tahan.

"Aku rindu kamu," ucap sang lelaki di sela mengeratkan pelukan pada tubuh mungil yang menggemaskan.

Wanita cantik itu tergelak sejenak. Turut ikut merindukan beruang besar yang menggemaskan, apalagi pipinya yang selalu menjadi incaran kecupan.

"Aku juga," jawabnya setelah mereka melepaskan pelukan.

Nelson Wijaya Putra, lelaki yang tak bisa menahan rasa bahagia hingga jantungnya berdetak cepat. Dua tahun lamanya mereka berpisah, dan kini bisa bertemu kembali.

"Selamat hari Kasih Sayang." Lelaki tonjang itu berseru. Menampilkan senyum manis yang biasa ia berikan bersama buket bunga disodorkan ke hadapan.

Meraih bunga tersebut dengan bibir tak bisa menahan senyum. Perlakuan manis Nelson tak pernah berubah sedikit pun. Dan Rara menyukainya.

"Bagaimana kabarmu?" Rara mencari topik. Tak ingin menyia-nyiakan waktu yang terbilang terbatas, karena Tuhan tak mengizinkan mereka lebih lama.

Nelson menghela nafas panjang, "Hubungan jarak jauh itu membuatku tersiksa."

•••

"Aku tahu."

Hening sejenak. Sama-sama memikirkan diri yang tak bisa berbuat apa-apa akan takdir. Tuhan telah menentukan semuanya, dan mereka tak bisa mengubah apa yang Ia hendaki. "Andai kita bisa seperti ini lebih lama."

"Maka ayo. Ikut denganku, nanti kita akan bersama terus." Ego Rara meminta. Memasang wajah memelas menahan rasa sakit di dada.

Nelson tersenyum tipis, kemudian menggeleng lemah. "Aku tidak bisa. Masih ada orang tua yang harus kubahagiakan, dan aku tak ingin membiarkan mereka di rumah tanpaku. Mereka masih membutuhkan aku."

Bukanlah kebohongan atau elakan tuk menolak halus permintaan Rara. Jika saja ia tak memikirkan hal itu, sudah dari dulu Nelson ikut pergi bersenang-senang dengan Rara.

"Nanti. Kita tunggu keputusan Tuhan. Apa Ia membiarkan aku bersamamu lebih cepat atau diundur lebih lama."

Keinginan berlandaskan keegoisan yang tak bisa Rara paksa. Ia tahu ini permintaan bodoh, dan Nelson takkan semudah itu mengabulkan permintaannya.

Ini semua salahnya. Karena kecerobohan yang ia perbuat.

"Kamu masih ingat tidak. Saat kita ke sini untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi meninggalkan kamu?" Menatap kembali bentangan bunga yang ada di depan sana, selalu mekar menebarkan keindahan walaupun malam akan segera menyelimuti dan menyuruh mereka ikut istirahat.

"Ingat. Saat itu kamu mengeluh padaku, kalau kamu takut kehilangan aku." Senyum miris itu terukir pilu. Nelson masih ingat jelas bagaimana hari itu, adalah hari di mana mereka akan berpisah.

"Tapi sekarang, aku yang kehilangan kamu," keluh ia melanjutkan.

•••

Sorot bersalah terlihat jelas dalam manik mata milik Rara. Mencebik bibirnya sendiri, rasa sakit semakin mencekat dada. "Maafkan aku. Kamu pasti tersiksa sekali saat itu."

"Tak apa. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa saat kamu pergi. Menunggu waktu lebih baik." Ingin menguatkan diri sendiri juga kekasihnya yang sedang hancur. Mencoba untuk bersikap dewasa walaupun itu hanya sebagai penutup dari kerapuhan yang ada.

"Nel." Di raihnya tangan Nelson tuk ia genggam erat. Rasa bersalah yang semakin besar mengubah suasana sekitar. Yang seharusnya menyenangkan dengan merayakan hari Valentine, malah berakhir pilu seperti ini. "Maaf telah memberikan kenangan buruk. Aku menyesal tak mendengarkanmu saat itu, sangat menyesal."

"Aku mengerti."

Lelehan air mata mengalir turun, menahan isakan akibat sesak di dada. Rara berusaha keras untuk kembali tenang dan menerima keputusan matang yang sudah ia pikirkan dari jauh-jauh hari. Risiko pasti akan ia tangung, dan inilah yang harus ia lakukan.

"Mari kita akhiri hubungan ini."

Dunia terasa berhenti bagi Nelson. Matanya melebar menatap Rara yang semakin menangis pilu, mencengkram kuat tangan seperti tempat pelampiasan atas kalimat yang baru ia ucapkan. "A-apa maksud kamu?"

"Kamu pantas bahagia, Nel. Gara-gara aku, kamu menjadi seperti ini. Mirip seperti orang gila, menangis tanpa peduli orang banyak yang sangat peduli padamu," jelas Rara.

"Ti-tidak! Aku sudah bahagia, walaupun aku akan terlihat seperti orang gila!" bantah Nelson walaupun yang diucapkan Rara adalah sebuah fakta.

"Kumohon. Jangan memaksa ku untuk melupakanmu. Hubungan ini, masih akan bertahan. Dan rasa cinta ini, akan selalu ada walaupun maut telah memisahkan," lanjut Nelson tak terima. Berharap besar bahwa Rara hanya main-main dalam mengucapkan kalimat itu.

•••

Menggeleng. Menatap wajah Nelson dengan matanya yang basah. "Kamu salah. Salah besar. Hubungan kita tak bisa bertahan lagi, dan perasaan kamu seharusnya sudah lenyap."

Rara tahu, Nelson tak bisa menerima itu semua. Terlihat ketika kini ia bungkam dengan kepala menunduk menunjukkan rasa kecewa. Menahan protes lagi demi menahan emosional yang berlebihan.

"Aku ingin pulang." Ia berdiri. Menyadari satu hal jika kehadiran ia di sini adalah sebuah kesalahan, juga membuat Nelson kecewa akan segala keputusan. Mungkin firasat ia benar saat itu, seharusnya ia tak kembali agar Nelson bisa melupakan semuanya.

Ditahan erat tangan Rara oleh pria beruang itu. Ada rasa tak rela untuk membiarkan ia pergi dengan segala keputusan yang sulit tuk diterima.

Namun, apa yang ia lakukan kali ini akan tetap sia-sia. Apa pun ucapan demi menghalang kepergian sang kekasih, alasan itu akan menjadi pedang untuk mulutnya sendiri.

Semua bisa melupakan seseorang walaupun dalam jangka waktu yang lama. Dan Rara meyakini jika Nelson bisa melupakan ia seperti yang lain.

"Terima kasih." Kalimat itu keluar dari mulut. Melawan ego yang meminta Rara terus berada di sampingnya, namun logika meminta ia untuk segera sadar.

"Terima kasih banyak telah menemani hidupku. Ak-u akan selalu mengingatmu. Ya! Kamu separuh hidupku, dan begitupun sebaliknya."

Semakin sulit. Perpisahan yang tak ia inginkan, meminta bayang-bayang Rara untuk tetap di sini dan menjadi seseorang yang Nelson cintai hingga mati.

"Kasih sayang aku takkan berhenti untuk kamu. Walaupun ...," Memberhentikan kalimatnya sejenak. Sulit melanjutkan perkataan yang tak bisa membuat dirinya rela kehilangan. Tapi, ini yang seharusnya ia lakukan, "walaupun kamu sudah tiada sekarang."

•••

Rara tersenyum disela menahan tangis. Ia sangat berterima kasih kepada Tuhan. Membiarkan mereka bertemu meskipun ia hanyalah sebuah bayang-bayang dalam waktu singkat.

Partikel abstrak perlahan meleburkan wujud cantik wanita yang ia sayang. Merasakan kekosongan yang sebentar lagi tiba, menyisakan bayang-bayang senyum semanis madu yang terekam jelas oleh mata.

"Selamat hari Kasih Sayang juga, Nelson."

Pasokan udara terasa menipis mampu menyesakkan dada. Pandangan kian memburam diikuti setetes air mata berhasil meloloskan diri. Menyadari kenyataan yang seharusnya ia terima sejak dulu, jika Rara sudah tiada.

Tak mampu mengharapkan lebih untuk merayakan hari Kasih sayang bersama sang kekasih. Juga memusnahkan rindu yang terus mendesak meminta penawar. Sepertinya patah hati ini akan terus berlanjut hingga ada seseorang yang bisa menggantikan semuanya.

Ya, jika ada.

Sadar akan aku yang seharusnya tak mengharapkan kehadiranmu lagi
Semakin membawa tangis pilu akan apa yang dulu pernah kita lalui
Dan kinimenyisakan kenangan yang ingin diulang kembali.

Kamu takkan pernah terganti
Selalu ku cinta hingga akhir hayat ini
Berharap di sana kita bisa bertemu lagi
Melakukan hal yang seharusnya berlanjut hingga kini.

Aku selalu sayang sama kamu. Dan semoga di sana, kamu juga merasakan hal itu.

•••

SAD VALENTINE
penulisagustnq
artworkercochobear23